CINTA YANG TIDAK PERNAH KITA AKUI
Aku dan Afgan selalu bersama. Sejak kecil, sejak belum tahu apa itu cinta, sejak hanya ada tawa dan genggaman tangan yang tak pernah ragu. Kami tumbuh di jalanan yang sama, rumah kami berdampingan, sekolah kami selalu satu.
Aku mengingat semua hal tentangnya: cara dia tersenyum, cara dia memiringkan kepalanya saat berpikir, cara dia menyebut namaku dengan nada khasnya. Aku tahu kapan dia sedang baik-baik saja dan kapan dia hanya berpura-pura kuat. Aku tahu semua tentangnya—kecuali satu hal: apakah dia pernah melihatku seperti aku melihatnya?
Aku tak pernah bertanya. Takut jawabannya akan membuat dunia kami berubah.
Lalu waktu berjalan, membawa kami ke masa remaja. Kami mulai mengenal perasaan yang lebih rumit. Afgan mulai berbicara tentang gadis yang dia suka, dan aku hanya bisa tersenyum, berpura-pura mendukungnya. Aku pun mencoba membuka hati untuk orang lain, tapi setiap kali aku berada di samping seseorang, hatiku selalu kembali padanya.
Tapi aku diam. Selalu diam.
Hingga akhirnya, aku menyadari bahwa rasa ini telah tumbuh terlalu dalam untuk bisa diabaikan.
Afgan adalah pria yang hangat, seseorang yang selalu membawa cahaya ke dalam hidupku. Namun, dia juga pengecut. Sama sepertiku.
Kami berdua tahu ada sesuatu di antara kami—sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tatapan yang terlalu lama, sentuhan yang tak sengaja, keheningan yang menyimpan ribuan kata yang tak terucap. Tapi kami memilih untuk menutup mata, menganggap semuanya baik-baik saja.
Suatu hari, dia memperkenalkan seorang gadis padaku. Namanya Nayla. Cantik, lembut, dan tampak sangat menyukai Afgan. Dan saat melihat mereka bersama, aku tersenyum. Tersenyum seperti tidak ada apa-apa, meski di dalam dadaku, sesuatu terasa retak.
"Alea, aku pikir aku menyukainya," katanya suatu hari.
Aku menelan ludah, lalu berkata, "Bagus. Dia gadis yang baik."
Aku berharap dia melihat kebohongan di mataku. Tapi dia tidak melihatnya—atau mungkin, dia memilih untuk tidak melihatnya.
Dan begitulah cara kami menjalani hidup: berpura-pura bahagia.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya, aku pun menjalin hubungan dengan seseorang. Namanya Damar. Dia baik, menyayangiku dengan tulus. Tapi setiap kali aku bersamanya, hatiku selalu mencari Afgan.
Saat aku mengabarkan bahwa aku mulai serius dengan Damar, Afgan hanya tersenyum kecil dan berkata, "Aku senang untukmu."
Tapi aku melihat sesuatu di matanya—sesuatu yang aku kenal, sesuatu yang selama ini juga aku rasakan.
Namun, tak ada yang berani mengaku.
Aku mulai jarang bertemu dengan Afgan. Hubungan kami yang dulu erat perlahan berubah menjadi sekadar teman yang saling menyapa sesekali.
Lalu, suatu hari, dia menghilang.
Dia pergi begitu saja, tanpa pesan, tanpa perpisahan. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, tidak ada yang bisa memberiku jawaban.
Aku mencarinya, menghubunginya, tapi tidak ada balasan. Seolah dia benar-benar ingin menghapus dirinya dari hidupku.
Aku bertanya pada Nayla, tapi dia hanya menggeleng. "Kami sudah putus beberapa bulan yang lalu," katanya.
Saat itu, aku menyadari sesuatu: mungkin Afgan tidak pergi karena aku tidak cukup mencarinya. Mungkin dia pergi karena aku terlalu lama diam.
Tahun berlalu. Aku mencoba melanjutkan hidupku, mencoba mencintai Damar sepenuh hati. Tapi ada satu bagian dari diriku yang tetap kosong—bagian yang hanya bisa diisi oleh seseorang yang telah pergi.
Suatu hari, aku mendengar kabar tentang Afgan.
Bukan dari pesan, bukan dari panggilan telepon, tetapi dari sebuah berita duka.
Tanganku gemetar saat membaca namanya. Dadaku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menghilang begitu saja.
Aku berlari ke rumah sakit, berharap ini hanya kesalahan. Tapi saat aku sampai di sana, aku melihatnya—terbaring dalam diam, wajahnya damai seakan sedang tidur.
Aku ingin berteriak, ingin mengguncangnya agar dia bangun dan menertawakan betapa bodohnya aku telah percaya bahwa dia pergi. Tapi dia tidak akan bangun. Tidak akan pernah.
Di sampingnya, ada sepucuk surat. Surat yang ditujukan untukku.
Aku membukanya dengan tangan gemetar.
> Alea,
Aku pergi bukan karena aku ingin. Aku pergi karena aku tahu, jika aku tetap di sana, aku tidak akan pernah bisa berhenti mencintaimu.
Aku takut. Takut mengakui bahwa aku telah jatuh terlalu dalam. Takut mendengar bahwa kau tidak merasakan hal yang sama.
Tapi pada akhirnya, aku menyadari satu hal: lebih baik aku mengatakan semuanya terlambat, daripada tidak pernah mengatakannya sama sekali.
Aku mencintaimu, Alea. Selalu. Sejak dulu, sejak kita masih anak-anak, sejak pertama kali aku menyadari bahwa tak ada tempat lain yang terasa lebih seperti rumah selain di sisimu.
Maaf karena aku pengecut. Maaf karena aku tidak pernah berani mengatakannya saat masih ada waktu.
Jika ada kehidupan lain setelah ini, aku harap kita bisa bertemu lagi—dan kali ini, aku tidak akan lari.
Surat itu terjatuh dari tanganku. Air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan.
Aku menyesal. Menyesal karena aku tidak pernah berani mengatakannya lebih dulu. Menyesal karena aku terlalu takut kehilangan, hingga akhirnya tetap kehilangannya juga.
Aku duduk di sampingnya untuk waktu yang lama. Menyentuh tangannya yang dingin, mengingat setiap kenangan yang kami bagi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengatakan sesuatu yang seharusnya sudah kukatakan sejak dulu.
"Aku juga mencintaimu, Afgan. Selalu."
Tapi kali ini, dia tidak ada di sana untuk mendengarnya.
Beberapa bulan setelah kepergiannya, aku sering mengunjungi tempat peristirahatan terakhirnya. Duduk di sana, bercerita seolah dia masih bisa mendengarkan.
Hidup terus berjalan, tapi hatiku tetap menyimpan namanya.
Mungkin, di kehidupan lain, kami bisa memulai lagi. Kali ini tanpa keraguan, tanpa ketakutan.
Dan jika saat itu tiba, aku berjanji akan menjadi orang pertama yang mengakui perasaanku.
Karena sekarang aku tahu, mencintai seseorang dalam diam adalah cara paling menyakitkan untuk mencintai.
Komentar
Posting Komentar